Proses Pembentukan Batubara

 

Proses Pembentukan Batubara

             Menurut Sukandarrumidi 2018, batubara terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang sudah mati, dengan  komposisi  terdiri  dari  cellulose.  Proses pembentukan batubara, dikenal sebagai proses pembatubaraan atau coalification. Faktor fisika dan kimia yang ada di alam akan mengubah cellulose menjadi lignit, subbitumina, bitumina, atau antrasit. Reaksi pembentukan batubara dapat diperlihatkan sebagai berikut:


5(C6H10O5) C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O +6CO2 + CO

Cellulosa lignit gas

metan


Keterangan

Cellulosa (senyawa organik), merupakan senyawa pembentuk batubara

Unsur C pada lignit jumlahnya relative lebih sedikit dibandingkan jumlah unsur C pada bitumina, semakin banyak unsur C pada lignit, semakin baik kualitasnya

Unsur H pada lignit jumlahnya relative banyak dibandingkan jumlah unsur H pada bitumina semakin banyak unsur H pada lignit, semakin rendah kualitasnya

Senyawa gas metan (CH4) pada lignit jumlahnya relative lebih sedikit dibandingkan dengan pada bitumina, semakin banyak CH4 lignit semakin baik kualitasnya



Proses pembentukan batubara terdiri atas dua tahap, yaitu:

       Tahap biokimia (penggambutan) adalah tahap ketika sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi bebas oksigen (anaeorobik) didaerah rawa dengan sistem penisiran (drainage system) yang buruk dan selalu tergenang air beberapa inci dari permukaan air rawa. Material tumbuhan yang busuk

tersebut melepaskan unsur H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobic dan fungi, material tumbuhan itu diubah menjadi gambut. (Stach, 1982, opcit. Susilawati 1992).

       Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan proses diagenesis terhadap komponen organik dari gambut yang menimbulkan peningkatan temperature dan tekanan sebagai gabungan proses biokimia, kimia dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan sedimen yang menutupinya dalam kurun waktu geologi. Pada tahap tersebut, persentase karbon akan meningkat, sedangkan persentase hidrogen dan oksigen akan berkurang sehingga menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat maturitas material organiknya. (Susilawati 1992). Teori yang menerangkan terjadinya batubara yaitu :

a.      Teori In-situ

Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan ditempat dimana batubara tersebut. Batubara yang terbentuk biasanya terjadi dihutan basah dan berawa, sehingga pohon-pohon di hutan tersebut pada saat mati dan roboh, langsung tenggelam ke dalam rawa tersebut dan sisa  tumbuhan  tersebut  tidak  mengalami

pembusukan secara sempurna dan akhirnya menjadi fosil tumbuhan yang membentuk sedimen organik.

a.      Teori Drift

Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan yang bukan ditempat dimana batubara tersebut. Batubara yang terbentuk biasanya terjadi di delta mempunyai ciri-ciri lapisannya yaitu tipis, tidak menerus (splitting), banyak lapisannya (multipleseam), banyak pengotor (kandungan abu cenderung tinggi). 


             Jenis-jenis Batubara

Berdasarkan kualitasnya, batubara memiliki kelas (grade) yang secara umum diklasifikasikan menjadi empat kelas utama menurut standar ASTM (Kirk-Othmer, 1979) atau lima kelas jika dimasukkan peat atau gambut sebagai jenis batubara yang paling muda (Larsen, 1978). Dalam hal ini kelas batubara disertai dengan kriteria berdasarkan analisis proximate dan nilai kalornya, juga kriteria berdasarkan analisis ultimate dan kandungan sulfur total serta densitasnya. Masing- masing jenis batubara tersebut secara berurutan memiliki perbandingan C : O dan C : H yang lebih tinggi. Antrasit merupakan batubara yang paling bernilai tinggi, dan lignit, yang paling bernilai rendah.

       Gambut/ Peat

Golongan ini sebenarnya termasuk jenis batubara, tapi merupakan bahan bakar. Hal ini disebabkan karena masih merupakan fase awal dari proses pembentukan batubara. Endapan ini masih memperlihatkan sifat awal dari bahan dasarnya (tumbuh-tumbuhan).

 

                     Lignit

Lignit sering disebut juga brown-coal, golongan ini sudah memperlihatkan proses selanjutnya berupa struktur kekar dan gejala pelapisan. Apabila dikeringkan, maka gas dan airnya akan keluar. Endapan ini bisa dimanfaatkan secara terbatas untuk kepentingan yang bersifat sederhana, karena panas yang dikeluarkan sangat rendah sehingga seringkali digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik.

                     Subbituminous/ Bitumen Menengah

Golongan ini memperlihatkan ciri-ciri tertentu yaitu warna yang kehitam-hitaman dan sudah mengandung lilin. Endapan ini dapat digunakan untuk pemanfaatan pembakaran yang cukup dengan temperatur yang tidak terlalu tinggi. Subbituminous umum digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga uap. Subbituminous juga merupakan sumber bahan baku yang penting dalam pembuatan hidrokarbon aromatis dalam industri kimia sintetis.

                                     Bituminous

Bituminous merupakan mineral padat, berwarna hitam dan kadang coklat tua, rapuh (brittle) dengan membentuk bongkah-bongkah prismatik berlapis dan tidak mengeluarkan gas dan air bila dikeringkan sering digunakan untuk kepentingan transportasi dan industri serta untuk pembangkit listrik tenaga uap.

 

        Antrasit

Golongan ini berwarna hitam, keras, kilap tinggi, dan pecahannya memperlihatkan pecahan chocoidal. Pada proses pembakaran memperlihatkan warna biru dengan derajat pemanasan yang tinggi. Digunakan untuk berbagai macam industri besar yang memerlukan temperatur tinggi.

Semakin tinggi kualitas batubara, maka kadar karbon akan meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen akan berkurang. Batubara bermutu rendah, seperti lignite dan sub-bituminous, memiliki tingkat kelembaban (moisture) yang tinggi dan kadar karbon yang rendah, sehingga energinya juga rendah. Semakin tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak, serta warnanya akan semakin hitam mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun akan berkurang sedangkan kadar karbonnya  akan  meningkat,  sehingga  kandungan

energinya juga semakin besar. Ada 3 macam klasifikasi yang dikenal untuk dapat memperoleh beda variasi kelas / mutu dari batubara yaitu (Miller, 2005) :

1.4.1. Klasifikasi menurut ASTM

Klasifikasi ini dikembangkan di Amerika oleh Bureau of Mines yang akhirnya dikenal dengan Klasifikasi menurut ASTM D388, 2005 (America Society for Testing and Material). Klasifikasi ini berdasarkan rank dari batubara itu atau berdasarkan derajat metamorphism nya atau perubahan selama proses coalifikasi (mulai dari lignite hingga antrasit). Untuk menentukan rank batubara diperlukan data fixed carbon (dmmf), volatile matter (dmmf) dan nilai kalor dalam Btu/lb dengan basis mmmf (moist, mmf). Cara pengklasifikasian :

Untuk batubara dengan kandungan VM lebih kecil dari 31% maka klasifikasi didasarkan atas FC nya, untuk ini dibagi menjadi 5 group, yaitu:

1. FC lebih besar dari 98% disebut meta antrasit

2. FC antara 92-98% disebut antrasit

3. FC antara 86-92% disebut semiantrasit

4. FC antara 78-86% disebut low volatile

5. FC antara 69-78% disebut medium volatile

Untuk batubara dengan kandungan VM lebih besar dari 31%, maka klasifikasi didasarkan atas nilai kalornya dengan basis mmmf

 

1. group bituminous coal yang mempunyai moist

nilai kalor antara 14.000- 13.000 Btu/lb yaitu :

1. High Volatile A Bituminuos coal (>14.000)

2. High Volatile B Bituminuos coal (13.000- 14.000)

3. High Volatile C Bituminuos coal (<13.000)

2. group Sub-Bituminous coal yang mempunyai moist nilai kalor antara 13.000 – 8.300 Btu/lb yaitu :

1. Sub-Bituminuos A coal (11.000-13.000)

2. Sub-Bituminuos B coal (9.000-11.000)

3. Sub-Bituminuos C coal (8.300-9.500)

Untuk batubara jenis lignit

1. group Lignite coal dengan moist nilai kalor di bawah 8.300 Btu/lb yaitu:

1. Lignit (8.300-6300)

2. Brown Coal (<6300)

1.4.2. Klasifikasi menurut National Coal Board (NCB)

Klasifikasi ini dikembangkan di Eropa pada tahun 1946 oleh suatu organisasi Fuel Research dari departemen of Scientific and Industrial Research di Inggris. Klasifikasi ini berdasarkan rank dari batubara, dengan menggunakan parameter volatile matter (dry, mineral matter free) dan cooking power yang ditentukan oleh pengujian Gray King. Dengan menggunakan parameter VM saja NCB membagi batubara atas 4 macam:

1. Volatile dibawah 9,1%, dmmmf dengan coal rank

100 yaitu Antrasit

2. Volatile diantara 9,1-19,5%,dmmmf dengan coal rank 200 yaitu Low Volatile/Steam Coal

3. Volatile diantara 19,5-32%,dmmf dengan coal rank

300 yaitu Medium Volatil Coal

4. Volatile lebih dari 32 %, dmmmf dengan coal rank

400-900 yaitu Haig Volatile Coal

Masing – masing pembagian di atas dibagi lagi menjadi beberapa sub berdasarkan tipe coke Gray King atau pembagian kecil lagi dari kandungan VM. Untuk High Volatile Coal dibagi berdasarkan sifat caking nya :

1. Very strongly caking dengan rank code 400

2. Strongly caking dengan rank code 500

3. Medium caking dengan rank code 600

4. Weakly caking dengan rank code 700

5. Very weakly caking dengan rank code 800

6. Non caking dengan ring code 900


Klasifikasi menurut International

Klasifikasi ini dikembangkan oleh Economic Commision for Europe pada tahun 1956. Klasifikasi ini dibagi atas dua bagian yaitu :

Hard Coal

Di definisikan untuk batubara dengan gross calorific value lebih besar dari 10.260 Btu/lb atau 5.700 kcal/kg (moist, ash free). International System dari hard coal dibagi atas 10 kelas menurut kandungan VM (daf). Kelas 0 sampai 5 mempunyai kandungan VM lebih kecil dari 33% dan kelas 6 sampai 9 dibedakan atyas nilai kalornya (mmaf) dengan kandungan VM lebih dari 33%. Masing-masing kelas dibagi atas4 group (0- 3) menurut sifat crackingnya dintentukan dari “Free Swelling Index” dan “Roga Index”. Masing group ini dibagi lagi atas sub group berdasarkan tipe dari coke yang diperoleh pengujian Gray King dan Audibert- Arnu dilatometer test. Jadi pada International klasifikasi ini akan terdapat 3 angka, angka pertama menunjukkan kelas, angka kedua menunjukkan group dan angka ketiga menunjukkan sub-group. Sifat caking dan coking dari batubara dibedakan atas kelakuan serbuk batubara bila dipanaskan. Bila laju kenaikan temperature relative lebih cepat menunjukkan sifat caking. Sedangkan sifat coking ditunjukkan apabila laju kenaikan temperature lambat.

Brown Coal

International klasifikasi dari Brown coal dan lignite dibagi atas parameternya yaitu total moisture dan low temperature Tar Yield (daf). Pada klasifikasi ini

batubara dibagi atas 6 kleas berdasarkan total

moisture (ash free) yaitu :

1. Nomor kelas 10 dengan total moisture lebih dari 20%, ash free

2. Nomor kelas 11 dengan total moisture 20-30%, ash free

3. Nomor kelas 12 dengan total moisture 30-40%, ash free

4. Nomor kelas 13 dengan total moisture 40-50%, ash free

5. Nomor kelas 14 dengan total moisture 50-60%, ash free

6. Nomor kelas 15 dengan total moisture 60-70%, ash free

Kelas ini dibagi lagi atas group dalam 4 group yaitu:

1. No group 00 tar yield lebih rendah dari 10%daf

2. No group 10 tar yield antara 10-15 % daf

3. No group 20 tar yield antara 15-20 % daf

4. No group 30 tar yield antara 20-25 % daf

5. No group 40 tar yield lebih dari 25% daf


 Jenis Batubara Berdasar Nilai Kalori


Penggunaan Nyala (menit) Nilai kalori (kal/gr)

1 Antrasit 5-10 7.222 - 7.778

2 Semi antrasit 9-10 5.100 - 7.237

3 Bituminous 10-15 4.444 - 6.111

4 Sub-bituminus 10-20 4.444 - 8.333

5 Lignit 15-20 3.056 - 4.611


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kandungan Batubara

Pengelolaan Stockpile Batubara