Kandungan Batubara
KANDUNGAN BATUBARA
Unsur kimia dalam batubara dibagi menjadi 2, yaitu unsur organik yang terdiri dari karbon (C) (sebagai aromatik/alifatik), Hidrogen (H) (terdapat dalam gugus metil (-CH3), dan gugus metilena (CH2-)), oksigen (O) (terdapat dalam gugus hidroksil (- OH), karboksil (-COOH), karbonil (=C=O), dan eter (-O-)), Nitrogen (N), Sulfur (S) (terdapat dalam gugus thiolik (R-SH), dan gugus alifatik sulfida (R-S-R)), dan Phosphor (P) (Sukandarrumidi, 2009; Kirk-Othmer, 2001). Sedangkan unsur anorganik berupa logam yang berasal dari pengotor seperti Silika (Si), Alumunium (Al), Besi (Fe), Kalsium (Ca), dan Magnesium (Mg) (Ullmann’s et al.,1999); Anggara S., dan Guntoro, 2017).
Batubara banyak diaplikasikan sebagai bahan bakar untuk unit PLTU (14%), bahan bakar furnace untuk pemanas air, bahan bakar untuk proses pencairan logam (11%), bahan bakar dalam pengoperasian tanur putar/kiln dalam pabrik semen (8%) serta pabrik kertas (1%), dan sekarang hadir dengan sedikit inovasi seperti batubara briket (serbuk batubara yang dipadatkan), dan CWM (Coal-Water Mixture) atau batubara cair yang merupakan campuran antara pulverized coal peringkat rendah dengan minyak (Bambang, S., 2007).
Kualitas Batubara
Batubara merupakan bahan mineral yang heterogen baik secara kimia maupun fisika, yang tersusun dari unsur utama karbon, hydrogen, oksigen, sedikit kandungan sulfur dan nitrogen. Tingkat pembatubaraan secara umum dapat dihubungkan dengan mutu atau kualitas batubara. Kualitas batubara dilihat dari semakin tingginya tingkat pembatubaraan maka kadar karbon akan meningkat sedangkan kadar hydrogen, oksigen, dan sulfur akan bekurang. Karbon pada batubara membentuk lebih dari 50% berat dan 70% volume (termasuk moisture). Moisture yang dimaksud adalah air yang terperangkap diantara partikel-partikel batubara. Batubara dengan tingkat pembatubaraan yang rendah, disebut juga batubara peringkat rendah, seperti lignit dan sub-bituminus biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah, memiliki moisture yang tinggi dan kadar karbon yang rendah, sehingga memiliki kandungan energi yang rendah. Semakin tinggi peringkat batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak, serta warnanya akan semakin hitam mengkilat. Selain itu, kelembaban batubara pun akan berkurang sedangkan kadar karbonnya akan meningkat, sehingga memiliki kandungan energy yang juga semakin besar.
Di Indonesia sendiri batubara banyak sekali yang tersebar dimana batubara tersebut berjenis low caloric -high caloric. Penyebaran batubara ini dikarenakan Indonesia banyak terbentuk cekungan sedimen akibat aktifnya pergerakan lempeng yang diakibatkan pergerakan lempeng Eurasia dari utara ke selatan dan pergerakan lempeng Indo-Australia dari selatan ke utara.
Ukuran (Coal Size)
Dalam pengelompokan ukuran butir batubara dibatasi pada rentang butir halus (pulverized coal atau dust coal)
dan butir kasar (limp coal). Pada kelompok ukuran butir paling halus berada pada ukuran maksimum 3 milimeter, sedangkan untuk kelompok ukuran butir paling kasar sampai dengan ukuran 50 milimeter. Butir paling halus dibatasi oelh dustness dan tingkat kemudahan diterbangkan angin sehingga dapat mengotori lingkungan. Tingkat dustness dan kemudahan diterbangkan masih ditentukan pula oleh kandungan moisture batubara. Ukuran partikel batubara pada umumnya menggunakan satuan mesh.
Hardgrove Grindability Index (HGI)
Merupakan parameter untuk mengindikasikan tingkat kekerasan dalam batubara yang nantinya berpengaruh terhadap proses size reduction. Semakin kecil nilai HGI, mengindikasikan batubara tersebut semakin keras. HGI merupakan suatu bilangan yang dapat menunjukkan mengenai mudah sukarnya batubara digerus. Harga dari HGI diperoleh dari persamaan sebagai berikut :
HGI = 13,6 + 6,93 W
W merupakan berat dalam gram dari batubara lembut berukuran 200 mesh. Penggolongan kekerasan batubara berdasarkan nilai HGI yaitu :
• HGI > 70 = soft (lunak)
• HGI 50 – 70 = medium soft (agak lunak)
• HGI 30 – 50 = hard (keras)
Rata-rata niai HGI batubara Indonesia adalah berkisar 35- 60.
Kandungan Moisture
Kandungan moisture pada batubara dapat mempengaruhi kegiatan pembatubaraan mulai dari eksplorasi, penanganan, penyimpanan, penggilingan hingga pembakaran. Berikut ini pengaruh moisture pada batubara, yaitu :
a. Kandungan moisture tinggi dapat meningkatkan biaya transportasi, penanganan, dan peralatan.
b. Semakin tinggi air di permukaan batubara akan semakin rendah daya gerus grinding mill yang menggerusnya.
c. Kandungan moisture akan mempengaruhi jumlah pemakaian udara primer. Batubara dengan kandungan moisture tinggi akan membutuhkan udara primer lebih banyak untuk mengeringkan batubara tersebut pada suhu keluar mill tetap.
Kandungan moisture pada batubara bukan seluruh air yang terdapat di dalam batubara baik besar maupun kecil dan yang terbentuk dari penguraian batubara selama pemanasan. Namun air pada batubara dapat ditemukan didalam batubara maupun terurai dari batubara apabila dipanaskan sampai kondisi tertentu akibat terjadinya oksidasi.
Menurut pendapat Deevi dan Suuberg 1993, moisture dalam batubara berada dalam beberapa bentuk berbeda yaitu air bebas di permukaan; air yang terkondensasi di kapiler; air yang terserap, air yang terikat dengan gugus polar kation; dan air yang timbul akibat dekomposisi kimia baik material organik maupun inorganik.
Zat Terbang (Volatile Matter atau VM, satuan persen)
Volatile Matter (VM) merupakan zat aktif yang menghasilkan energi panas apabila batubara tersebut dibakar. Umumnya terdiri dari gas-gas yang mudah terbakar seperti Hidrogen, Karbon Monoksida (CO) dan Metan (CH4). Volatile Matter sangat erat kaitannya dengan rank batubara, makin tinggi kandungan VM makin rendah kelasnya. Dalam pembakaran batubara dengan VM tinggi akan mempercepat pembakaran karbon tetap (Fixed Carbon/FC) dan intensitas nyala api. Sebaliknya bila VM rendah mempersulit proses pembakaran.
Kesempurnaan pembakaran ditentukan oleh :
Fuel Ratio = Fixed Carbon / Volatile Matter
Dengan semakin tingginya nilai fuel ratio, maka jumlah karbon yang tidak terbakar dalam batubara juga semakin banyak. Apabila perbandingan tersebut nilainya lebih dari 1,2 maka pengapiannya akan kurang bagus. Hal tersebut mengakibatkan kecepatan pembakaran akan menurun. Nisbah kandungan karbon (fixed carbon) terhadap kandungan zat terbang (fuel ratio) dari berbagai jenis batubara dapat dilihat dalam Tabel berikut :
Tabel 2. 1 Fuel Ratio Berbagai Jenis Batubara (Sukandarrumidi, 1995)
Jenis Batubara Fuel Ratio
1. Coke 92
2. Antrasit 24
3. Semi antrasit 8,6
4. Bitumen
• Low volatile 2,8
• Medium volatile 1,9
• High volatile 1,3
5. Lignit 0,9
Zat Terbang (Volatile Matter atau VM) merupakan kuantitas sejumlah senyawa-senyawa yang mudah menguap. Senyawa volatile ini berperan sebagai pematik proses terbakarnya batubara. Semakin sedikitnya senyawa volatile pada batubara, maka akan semakin sulit batubara terbakar meskipun batubara tersebut memiliki fixed carbon yang besar.
Karbon Tetap (Fixed Carbon/ FC)
Fixed Carbon merupakan kandungan utama dari batubara. Hal tersebut dikarenakan kandungan fixed carbon paling berperan dalam menentukan besarnya heating value suatu batubara. Kandungan fixed carbon yang semakin banyak, maka akan memperbesar heating value-nya. Nilai kadar karbon diperoleh melalui pengurangan angka 100 dengan jumlah kadar moisture (kelembaban), kadar abu, dan jumlah zat terbang. Nilai kadar karbon semakin bertambah seiring dengan tingkat pembatubaraan. Nilai kadar karbon dan jumlah zat terbang digunakan sebagai perhitungan untuk menilai kualitas bahan bakar, yaitu berupa nilai fuel ratio.
Kadar Karbon Tetap (FC) adalah karbon yang terdapat dalam batubara yang berupa zat padat/ karbon yang tertinggal sesudah penentuan nilai zat terbang (VM). Melalui pengeluaran zat terbang dan kadar air, maka karbon tertambat secara otomatis sehingga akan naik. Dengan begitu makin tinggi nilai karbonnya, maka peringkat batubara meningkat.
Nilai Kalor (Calorific Value/ CV)
Nilai Kalor (CV) adalah penjumlahan dari harga-harga panas pembakaran unsur-unsur pembentuk batubara. Nilai kalor sangat berpengaruh terhadap pengoperasian pulverizer/ mill pipa batubara, dan windbox, serta burner
Nilai CV yang semakin tinggi maka aliran batubara setiap jam-nya semakin rendah sehingga kecepatan coal feeder harus disesuaikan. Sedangkan batubara dengan kadar kelembaban dan tingkat ketergerusan yang sama, maka dengan CV yang tinggi menyebabkan pulverizer akan beroperasi di bawah kapasitas normalnya atau dengan kata lain operating ratio-nya menjadi lebih rendah.
Kadar Abu (Ash Content, satuan persen)
Komposisi batubara bersifat heterogen yang terdiri dari zat organik (lignin-selulosa-humus) maupun anorganik (besi, silika, allumunium, magnesium, dll) yang bercampur dengan batuan sedimen lain disekitarnya selama proses pembatubaraan berlangsung. Bila dibakar, senyawa anorganik diubah menjadi senyawa oksida dalam bentuk abu.
Abu merupakan komponen yang terkandung pada batubara yang tidak dapat terbakar. Pada umumnya abu ini berupa mineral yang berasal dari dalam tanah. Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang bakar dan daerah konversi daalam bentuk abu terbang (fly ash) yang jumlahnya mencapai 80% dan abu dasar sebanyak 20%. Kadar abu ini sangat berpengaruh terhadap tingkat pencemaran udara serta mengakibatkan terjadinya hujan asam (kontak abu yang mengandung SO2 dengan air hujan) yang menyebabkan korosif pada peralatan
(Sukandarrumidi, 2005). Senyawa abu yang dihasilkan dari pembakaran batubara tersebut antara lain SiO2, Al2O3, TiO2, Mn3O4, CaO, Fe2O3, MgO, K2O, Na2O, P2O, dan
SO3, yang dimana kadar abu batubara di Indonesia adalah sekitar 15-20%. Kadar abu untuk lignite, bitumin atau sub- bitumin ditampilkan dalam tabel 2.2.
Tabel 2. 2 Komposisi abu dalam batubara
Komponen Kelas Batubara
Kimia Lignite Bituminous Sub - bituminous
SiO2 15-45% 20-60% 40-60%
Al2O3 10-25% 5-35% 20-30%
Fe2O3 4-15% 10-40% 4-10%
CaO 15-40% 1-12% 5-30%
MgO 3-10% 0.1-5% 1-6%
SO3 0.1-10% 0.1-4% 0.1-2%
Na2O 0.1-6% 0.1-4% 0.1-2%
K2O 0.1-4% 0.1-3% 0.1-4%
Sumber: ASTM C618 – 92a (1994) (Adopsi dari Sukandarrumidi, 2005)
2.1.8. Kadar Sulfur
Sulfur adalah salah satu komponen dalam batubara, yang terdapat sebagai sulfur organik maupun anorganik.Umumnya komponen sulfur dalam batubara terdapat sebagai sulfur syngenetik yang erat hubungannya dengan proses fisika dan kimia selama proses penggambutan (Meyers, 1982) dan dapat juga sebagai sulfur epygenetik yang dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada batubara akibat proses presipitasi kimia pada akhir proses pembatubaraan (Mackowsky, 1968).
Sulfur yang terdapat dalam batubara terbagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Sulfur Pirit
Pirit dan markasit merupakan mineral sulfida yang paling umum dijumpai pada batubara. Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS2) tetapi berbeda pada sistem kristalnya. Pirit berbentuk isometric sedangkan Markasit berbentuk orthorombik (Taylor G.H, et.al., 1998). Pirit (FeS2) merupakan mineral yang memberikan kontribusi besar terhadap kandungan sulfur dalam batubara, atau lebih dikenal dengan sulfur pirit (Mackowsky, 1943 dalam Organic Petrology, 1998). Berdasarkan genesanya, pirit pada batubara dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
a. Pirit Syngenetik, yaitu pirit yang terbentuk selama proses penggambutan (peatification). Pirit jenis ini biasanya berbentuk framboidal dengan butiran sangat halus dan tersebar dalam material pembentuk batubara (Demchuk, 1992).
b. Pirit Epygenetik, yaitu pirit yang terbentuk setelah proses pembatubaraan. Pirit jenis ini biasanya terendapkan dalam kekar, rekahan dan cleat pada batubara serta biasanya bersifat masif (Mackowsky, 1968; Gluskoter, 1977; Frankie and Howe, 1987).
2. Sulfur Organik
Sulfur organik merupakan suatu elemen pada struktur makromolekul dalam batubara yang kehadirannya secara parsial dikondisikan oleh kandungan dari elemen yang berasal dari material tumbuhan asal. Dalam kondisi geokimia dan mikrobiologis spesifik, sulfur inorganik dapat terubah menjadi sulfur organik. Sulfur organik dapat terakumulasi dari sejumlah material organik oleh proses penghancuran biokimia dan oksidasi. Namun secara umum, penghancuran biokimia merupakan proses yang paling penting dalam pembentukan sulfur organik, yang pembentukannya berjalan lebih lambat pada lingkungan yang basah atau jenuh air (A.C. Cook, 1982).
Sulfur yang bukan berasal dari material pembentuk batubara diduga mendominasi dalam menentukan kandungan sulfur total. Sulfur inorganik yang biasanya melimpah dalam lingkungan marin atau payau kemungkinan besar akan terubah membentuk hidrogen sulfida dan senyawa sulfat dalam kondisi dan proses geokimia. Reaksi yang terjadi adalah reduksi sulfat oleh material organik menjadi hidrogen sulfida (H2S). Reaksi reduksi ini dipicu oleh adanya bakteri desulfovibrio dan desulfotomaculum (Meyers, 1982).
3. Sulfur Sulfat
Kandungan sulfur sulfat biasanya rendah sekali atau tidak ada kecuali jika batubara telah terlapukkan dan beberapa mineral pirit teroksidasi akan menjadi sulfat (Meyers, 1982).
Pada umumnya kandungan sulfur organik lebih tinggi pada bagian bawah lapisan, sedangkan kandungan sulfur piritik dan sulfat akan tinggi pada bagian atas dan bagian bawah lapisan batubara.
Kadar S dalam batubara bervariasi, mulai dari jumlah yang sangat kecil hingga lebih dari 4% (Nukman dkk., 2006). Unsur S mudah bereaksi dengan unsur H atau O membentuk senyawa asam (pH < 5), yang dimana senyawa asam tersebut merupakan pemicu polusi. Sulfur anorganik dalam batubara dapat dikurangi dengan proses pencucian (Speight et al., 2005), yang dimana terbentuk dari reaksi reduksi sulfur primer oleh bakteri desulfovibrio/desulfotomaculum dan air tanah yang
mengandung ion Fe2+. Sulfur organik berikatan dengan senyawa hidrokarbon di batubara, yang terbentuk dari reduksi sulfat oleh material organik dibantu dengan bakteri menjadi hidrogen sulfida (H2S) pada lingkungan kering dan minim kandungan Fe, sehingga tidak dapat dikurangi dengan proses pembersihan. Sedangkan sulfur sulfat biasa dijumpai dalam bentuk sulfat besi, sulfat barium dan sulfat kalsium dan tidak terlibat dalam pembentukan SOX (oksida sulfur) (Sukandarrumidi,
2005). Menurut Casagrandre (1987), kandungan S terbesar terdapat pada bagian ujung-ujung lapisan batubara serta kandungan S terkecil (< 1%) didominasi oleh sulfur organik. Jika dibakar akan menghasilkan gas SO2, bila teremisi di udara akan teroksidasi menjadi SO3. Apabila SO3 berkontak dengan uap air, maka akan membentuk kabut asam yang akhirnya menjadi hujan asam yang dapat menyebabkan korosi pada alat yang berkontak dengan cairan asam tersebut.
Titik Leleh Abu Batubara (Ash Fusion Temperature, AFT)
Ash fusion temperature (AFT) merupakan titik leleh abu batubara. Abu batubara biasanya akan meleleh pada saat harga AFT-nya lebih rendah dari temperatur boiler tepatnya furnace exit gas temperature (FEGT) yang ditetapkan. Akibatnya, abu batubara berpotensi membentuk slagging yang menyebabkan penurunan efisiensi boiler. Penurunan ini menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi industri. Oleh karena itu, dibutuhkan nilai AFT batubara yang tinggi melebihi temperatur FEGT. Pengukuran temperatur leleh abu dilakukan dengan memanaskan abu batubara yang dibentuk kerucut di dalam suatu tungku. Temperatur pelelehan abu ini dibagi ke dalam empat kategori, yaitu:
1.Temperatur deformasi awal (initial temperatur, IT) Temperatur dimana pembulatan pada ujung kerucut terjadi.
2.Temperatur pelunakan (softening temperatur, ST) Temperatur dimana kerucut telah meleleh menjadi bulat dengan ketinggian sama dengan lebarnya.
3.Temperatur hemispherical (HT)
Temperatur dimana kerucut telah meleleh menjadi bentuk hemispherical dengan ketinggian menjadi setengah lebar dasarnya.
4.Temperatur Fluida (FT)
Temperatur dimana seluruh abu telah meleleh dengan ketinggian maksimal 1/16 inci.
Komentar
Posting Komentar